-->
Coba bayangkan kalau Cooper tidak pernah berimajinasi bahwa suara bisa dikirimkan tanpa kabel melalui telepon portable , maka hari ini, h...
Balada Para Pemimpi

Balada Para Pemimpi


Coba bayangkan kalau Cooper tidak pernah berimajinasi bahwa suara bisa dikirimkan tanpa kabel melalui telepon portable, maka hari ini, hampir dipastikan jantung kita masih berdebar menantikan surat diantar oleh Pak Pos. Atau jika kita mundur lebih ke belakang, kalau saja Maxwell tidak pernah berteori mengenai dinamika medan elektromagnetik, lalu Hertz tidak pernah tertarik membuktikan teori Maxwell, pastilah banyak hati yang terluka karena surat-surat yang sampai terlampau lama, tidak mampu melesat secepat SMS.

Mungkinkah kita bisa mengorganisir meet up ala anak kekinian via chat di grup, jika Departemen Pertahanan USA tidak pernah mencoba membuat jaringan ARPANET? Baiklah, mundur lagi ke belakang, jika Licklider tidak pernah memperkenalkan istilah "Man-Computer Symbiosis", membayangkan komputer-komputer terhubung satu sama lain melalui sebuah jaringan, bagaimanalah kita bisa menonton tayangan dari negeri lain via yutup?

Lebih dekat, jika Habibie tidak pernah punya mimpi agar Indonesia bisa memproduksi pesawatnya sendiri, ah seberapa tertinggalnya negeri ini tanpa impian tersebut? Masih ada jutaan atau mungkin milyaran mimpi lainnya, yang mungkin saja jadi titik balik penemuan untuk kehidupan masa depan. Mimpi-mimpi yang sayangnya, seringkali ditertawakan dan dianggap mustahil oleh orang-orang dengan sederet gelar, yang idealnya mendukung impian-impian mustahil tersebut jadi kenyataan.

Pertanyaan "apa manfaatnya?" atau "apa gunanya?" adalah pertanyaan yang paling sering ditemui para pemimpi di negeri tercinta ini. Pertanyaan yang mengarah pada "apakah bisa membuat Indonesia kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya?"  Pertanyaan dari mental-mental non-investor yang memang masih jadi mayoritas di negeri di mana kita lebih bangga jadi pekerja daripada pengusaha. Maka, kita bisa lihat, hampir tidak ada arkeolog dari negeri kita sendiri, negeri dengan kekayaan sejarah yang kekayaannya malah ditemukan oleh arkeolog-arkeolog asing yang dibiayai negaranya. Bagaimanalah bisa arkeolog melakukan penelitian jika hampir dipastikan mereka tidak dapat menjawab guna penelitiannya secara ekonomis ketika mengajukan anggaran penelitian ke pemerintah.

Sebagai salah satu pemimpi, penulis dan beberapa teman lainnya sudah khatam dengan pahitnya pertanyaan "apa gunanya?". Berkali-kali gagal berangkat konferensi internasional, padahal sudah susah payah menuangkan ide ke dalam paper. Sakitnya lagi, sudah pula diseleksi super ketat, akhirnya gagal juga dipresentasikan hanya karena dianggap tak berguna (T.T). Padahal, lewat konferensi-konferensi yang kata birokrat tidak berguna itulah, banyak muncul ide gila yang membuat hidup mereka-mereka di muka bumi ini semakin nyaman.

Banyak sekali yang lupa, bahwa mobil yang membawanya dengan nyaman di tengah panas maupun hujan, pesawat yang mengantarkan dari selatan menuju utara, atau barat ke timur, telepon genggam dan jaringan internet yang mampu membuatnya senyum-senyum sendiri di tengah keramaian. Semuanya adalah hasil dari mimpi-mimpi yang dianggap mustahil dijadikan nyata, mimpi yang ditertawakan, diremehkan, dianggap tak berguna. Kemustahilan yang telah mengubah hidup milyaran manusia di muka bumi, jadi lebih nyaman, lebih ringkas, lebih hemat waktu. Kemustahilan yang bahkan bisa memanjangkan angka harapan hidup penduduk di banyak negeri.

Maka terpujilah orang-orang yang memegang teguh mimpi mustahilnya, meski sesisi semesta bahkan semut yang berbaris di dinding menatapnya curiga seakan penuh tanya "apa gunanya?". Kelak, kitalah yang akan menatap balik pada mereka yang sinis, dengan tatapan penuh kasih balik berkata, "hidupmu jadi lebih mudah kan sekarang, akhirnya kamu tahu gunanya impian saya."

Sebagai penyemangat, marilah kita mengheningkan cipta, meresapi kutipan salah satu penulis yang jadi inspirasi hidup saya berikut ini.

"Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda marabahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar kea rah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram angin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!" - Andrea Hirata (Edensor)

Read more »
Ni Hao, China ( Eps 1)

Ni Hao, China ( Eps 1)


Kenal Bao Chun Lai gak? Kalau belum, saya kenalin! Hihihi. Silahkan search di google buat lebih lengkapnya, saya cuma mau ngumumin kalau dia adalah mantan atlet badminton asal Tiongkok yang cakep binggo, hahahaha. Sayangnya, cedera parah bikin si Abang musti gantung raket di usia muda dan beralih profesi ke dunia entertainment. Tapi walaupun dia udah gantung raket, saya tetap setia (yaelah apaan sih -.-) jadi fansnya. Gara-gara dia nih Tiongkok jadi begitu menarik di mata saya, pokoknya saya harus ke Beijing nanti, janji saya yang waktu itu baru kelas 3 SMP.

Mimpi 7 tahun saya jadi kenyataan. Setelah mengikuti Pre Departure Training atau PDT Selama dua hari, kami rombongan delegasi Pertukaran Pemuda Antar Negara untuk Tiongkok bertolak ke negeri tirai bambu itu di tanggal 3 September 2015. Kami dibagi menjadi dua kelompok keberangkatan, rombongan pesawat Chatay dan rombongan butiran jasjus yang naik pesawat Xiamen Air, wkwkwkwk. Entahlah bagaimana cerita teman-teman di pesawat Chatay yang katanya kece badai dan transitnya aja di Hongkong sebelum menuju Beijing. Xiamen Air punya cerita menarik juga kok, setidaknya bisa bikin mesem-mesem kalau diingat, huehehehe.

Harusnya kami menuju bandara internasional Soekarno Hatta pukul 04.00 pagi. Tapi hari itu saya dan Amy, teman sekamar saya jadi salah satu trouble maker yang bikin telat ke bandara, maafin ya guys T.T huhuhu. Pesawat kami berangkat sekitar pukul 8 pagi menuju kota Xiamen, transit sebelum ke Beijing. Sekitar 6 jam kemudian kami mendarat di bandara kota Xiamen. Xiamen Air ini bikin saya agak kaget sih pas masuk, bayangan saya kita bakal naik air bus kayak waktu ke Aussie dulu. Namun kenyataannya tak sejalan, hahaha ternyata pesawatnya boeing dilengkapi dengan layar TV massal, bukan per seat. Menyedihkannya, film yang diputar berbahasa mandarin dan gak dilengkapi subtitle, tak apalah ini aja udah ngabisin duit negara wkwk. Lucunya, baru kali ini saya nemu pesawat yang awak kabinnya narik kembali headphone sekitar 30 menit sebelum mendarat, sayangnya caranya menurut saya kurang sopan, mengingat ini penerbangan internasional yang harusnya lebih membuat penumpang merasa nyaman.

Ketika sampai, saya masih merasa di Indonesia karena penampakan Xiamen tidak begitu berbeda dengan Indonesia. Baru ketika masuk ke dalam bandara saya sadar kalau saya ada di Tiongkok, karena semua orang berbahasa mandarin. Hal berkesan yang gak bisa saya lupakan adalah ketika menunggu bagasi, ada seorang bapak-bapak cleaning service, yang kalau dari penampakannya sudah lumayan berumur, begitu ramah dan baik kepada kami. Padahal nih, kita udah keburu masang stereotip kalau kebanyakan warga asli pada cuek dan rada galak. Pelajaran pertama: stop stereotip!

Kami punya waktu sekitar 3 jam di bandara Xiamen, dan karena saat itu sudah masuk waktu sholat dzuhur kami pun mencari tempat untuk sholat. Kami berwudhu di westafel toilet, dan karena ruang sholat gak ada, kami memilih sudut ruang tunggu bandara untuk melaksanakan sholat. Sukseslah kami menjadi tontonan orang-orang yang lalu lalang, hihihi. Tapi bener ya, sholat di negeri minoritas muslim bisa bikin kita terharu karena ingat betapa mudahnya beribadah di negeri sendiri tapi kita malah sering malas.

Akhirnya kami berangkat menuju Beijing, dan sampai malam hari di sana. Kami dijemput oleh anggota All China Youth Federation, Eddie namanya. Saat di bus, Eddie menyapa kami dan menjelaskan banyak hal dalam bahasa Inggris. Nah, keisengan salah satu teman kami muncul dan dia nyeletuk, " kasian tuh si Edi latihan ngapalin dua hari dua malem tuh!". Tapi sungguh malang nasib teman kami tadi, karena ternyata...eng ing eng ada satu lagi anggota All China Youth Federation yang tiba-tiba menyapa dengan bahasa Indonesia dan mengenalkan diri dengan nama Adyatma. Maka gegerlah seantero bus dan muka temen tadi pucat pasi (biar dramatis). Adyatma ternyata bisa bahasa Indonesia guys! Nah loh wkwkwkwk.

Kelelahan parah, sampai di hotel Rosedale kami langsung manyun waktu disuruh briefing dulu. Pada gak sabaran masuk ke kamar. Pas udah masuk kamar, wow, kesan pertama kamarnya keren! Viewnya kece dan wifi asoooy. Plus ada KBS world di TVnya, yihhiiiii! Saya dan teman sekamar, Amy, sama-sama K-Lovers langsung jejingkrakan, hahahahaha. Oh iya, kita sempat bingung nutup tirai kamar mandi yang entah di mana tombolnya, padahal udah pengen banget make kamar mandi. Soalnya kacanya bener-bener transparan tanpa tirai. Tapi akhirnya setelah menelpon ke room service, kami menemukan tombolnya, hahaha kamseupay gilaaak.

Waktunya tidur, setelah update status Assalamualaikum Beijing, hihihihi. Selanjutnya? Tunggu deh ya saya tulis lagi nanti, see you!
Read more »
Pemuda yang Ditukar

Pemuda yang Ditukar



Setelah beruntung dapat kesempatan sebagai delegasi pertukaran pelajar di tahun 2013, saya entah berapa puluh kali kembali mencoba peruntungan untuk bisa menapak di negeri lain. Sayangnya, hampir dua tahun berlalu belum ada satu pun yang mengirimkan saya e-mail dengan congratulation sebagai kata pembukanya. Malahan, saya mulai terbiasa dengan kata-kata regret to inform atau sorry to announce, hihihi. Sampai dua mantera yang saya ciduk dari trilogi Negeri 5 Menara itu bekerja, tepat di bulan kemenangan umat Islam. Berkah Ramadhan, sekaligus lebaran.
Awal ramadhan tahun ini agak nyesek sih buat saya, ini perihal proposal yang udah kelar dan terpaksa ganti judul (baca: mulai dari nol). Rasanya lebih sakit daripada cinta bertepuk sebelah tangan, serius, hahahaha. Gak tahan sama nyeseknya, saya mutusin pulang ke Bontang, melarikan diri, plus menenangkan hati. Di sela-sela kegundahan, eiiittssss, ada teman yang ngirim link buat ikut seleksi pertukaran pemuda ke China. Malam itu juga saya buka dan isi formnya, tanpa pikir panjang semua pertanyaan saya jawab secara spontan. Setelahnya, saya lupain kalau saya baru aja ikut seleksi, pikir saya sih palingan gak bakal lolos kayak program2 sebelumnya. Sekitar dua hari setelah lebaran, saya dapat sms yang isinya bikin jantung dag dig dug luar biasa! Saya lolos tahap pertama seleksi dan jadi 100 peserta terpilih dari sekitar 1566 pendaftar di seluruh Indonesia. Saya diminta cek email untuk langkah selanjutnya, yang mana tuh email ternyata udah lama masuk tapi di spam dan hampir aja saya ngelewatin kesempatan ini kalau gak dapat sms. 

Seleksi tahap selanjutnya dimulai. 100 orang peserta diminta membuat video presentasi yang berhubungan dengan skill masing-masing. Sekali lagi Allah baik seekaaaliii, saya dikasih teman terbaik yang dari SMP sampai sekarang masih bersahabat meski kuliah di kota yang berbeda. Jam 7 pagi saya gangguin Nungke, panggilan sayang -preeet- buat Nurul 'Aini , minta bantuin jadi kameramen. Sebenarnya saya punya dua orang kameramen handal, Ucu & Sul, sayangnya mereka lagi terpisah ribuan kilometer dari saya, duh syahdu amat bahasanya, hahahaha. Daaan jeng jeng, jadilah video ala kadarnya yang cuma saya edit sedikit dengan iMovie. Sebenernya pesimis banget soalnya videonya bener-bener sekedarnya, dan rasanya saya salah ambil nada awal pas bicara dalam video itu. Ketinggian, jadinya suara saya terdengar cempreng. Padahal, sebagai penyiar harusnya saya teliti banget masalah tinggi rendah suara saya, ahahahahah ini apa-apaan coba. 

Sama kayak ketika kita coba ngelawan rasa suka ke seseorang, ngelawan rasa gelisah nungguin pengumuman juga susaaaaah banget! Padahal saya gak pengen berharap, takut sakit hati, laaaah baper amat guee. Pengumumannya juga lama beneeer, sampai saya udah di Makassar belum juga diumumin. Daaan hari itu tiba, sumpah saya deg-degan banget, sampe ke timezone buat ngilangin gugupnya. Bahkan saya mutusin nonton di bioskop biar gak frustasi nunggu pengumuman. Pas banget waktu film mau dimulai pengumumannya keluar. Anehnya pertama ngeliat saya gak nemuin nama saya, dan seketika menghela nafas kecewa. Tapi temen saya ngeliat lagi dan nemuin nama saya di urutan 17, hahahaha, ya ampuuun. Bahagia bangeet, dan akhirnya saya gak perhatiin film yang harusnya saya tonton dengan seksama. Kak Adil dan Hamid juga jadi terganggu sama euforia saya yang malah jadi sibuk ngehubungin mamak, Gib, Sul, dan Ucu, hihihi. 

Bersyukur banget bisa lolos di program yang ternyata PPAN ini, program impian saya. Ada banyak keseruan waktu ngikutin program ini, mau tau? Tunggu episode berikutnya! :p
Read more »
Jejak PetualanG Part 3

Jejak PetualanG Part 3



Ini adalah bagian terseru dari petualangan lima hari kami. Perjalanan yang paling banyak menghabiskan waktu, tapi terbayar oleh keelokan pemandangan alam yang kami lewati. Untuk pertama kalinya, saya menginjakkan kaki di pulau yang lebih terkenal dari negerinya sendiri, Bali.

Yihaaa, setelah menikmati dinginnya Batu dan menyantap lezatnya bakso Malang, waktunya bertolak ke Bali via Banyuwangi. Kami naik kereta api Tawang Alun yang berangkat pukul 15.55 dari Stasiun Kota Malang. Bukan perjalanan singkat, sebab 8 jam kami harus duduk dalam kereta yang rasanya berjalan mundur, karena posisi duduk kami, hehehe. Sebelum berangkat, kami sempat berjalan kaki di sekitar stasiun untuk mencari warung makan yang pas (di kantong yang mulai kering). Lumayan jauh, tapi wajarlah bagi travelling ala backpacker. Warungnya pun ketemu, ada wifi gratis, dan sederet menu yang namanya unyu: bakso goyeng, tahu goyeng dan semua yang goyeng goyeng!


Setelah selesai mengisi perut, dan gak lupa ngebungkus makanan untuk di kereta nanti, kami ke stasiun. Kereta datang tepat waktu, kami pun segera naik. Tapi kami mendapat kenyataan pahit, ternyata tempat duduk Ucu jauh terpisah dari saya dan Sulham hahahaha. Saya dan Sulham duduk berhadapan dengan sepsasang suami istri dengan destinasi Jember; kotanya Mas Anang. Hmm, kalau aku siih, eh kenapa jadi ketularan -_-, hihihi. Suami istri ini ramah banget loh, dan istrinya terkagum-kagum banget dengar peualangan kami, khususnya saya. Soalnya, si mbak gak pernah beranjak dari Jember sejak kecil, dan baru menginjakkan kaki di kota lain, yaitu Malang setelah menikah. Berbanding terbalik dengan saya yang sudah berkelana kesana kemari. 

Bukan hal mudah duduk 8 jam di kereta. Saya dilanda kebosanan parah,tapi untungnya suami istri di depan saya asik diajak ngobrol, dan ada Sulham yang enak dibully, hahaha. Sayangnya, suami istri nan ramah di depan kami hanya 5 jam di kereta, karena Jember lebih dulu dicapai, sedangkan Banyuwangi adalah destinasi paling terakhir. Main hockey di Ipad, makan, berbagi headset, sampai tidur-tidur ayam sudah kami lalui, entah apa yang dilakukan Ucu nun jauh di tempat duduk sana, hahahaha. Saya sempat ke toilet kereta, dan betapa terkejutnya saya untuk pertama kalinya melihat toilet semacam itu. Sangat sempit dan saya hampir jatuh ketika kereta tiba-tiba berhenti karena sampai di stasiun berikutnya.

Pukul 12.00 kami tiba di Banyuwangi, dengan perut penuh terisi angin. Jadilah kami singgah di Indomaret dekat stasiun untuk membeli tolak angin dan pop mie. Setelahnya, kami berjalan kaki ke pelabuhan ferry yang jaraknya hanya 100 meter. Asik juga ternyata jalan kaki di malam hari, hahaha. Kami membeli karcis seharga 8,000 rupiah per orang. Tergolong murah, untuk perjalanan 20 menitan menyebrang ke pelabuhan Gilimanuk di Bali. Tapi malam itu, ombak sedang tinggi, jadi hampir satu jam kami di atas ferry. Tapi lagi, walaupun lebih lama, perjalanan dengan ferry ini menyenangkan sekali. Kami bisa menikmati pemandangan laut di malam hari yang super duper kereeeeen, plus lampu-lampu cantik yang kelihatan di seberang pulau. Pokoknya spektakuler!

Setelah naik ferry, kami masih harus naik bus ke Denpasar dengan waktu tempuh 4 jam. Gak nyangka, kalau pulau Bali yang di peta cuma seiprit itu ternyata luas juga, huhuhu. Kami kehabisan uang cash, hanya tersisa 90000, terpaksa kami menawar mati-matian bus yang harusnya 40000 per orang jadi 30000, hihihi. Pemandangan kiri-kanan lagi-lagi sangat apik, tapi tidak lama kami nikmati karena kami tertidur pulas, mungkin kami sudah lelah. Pukul 6.00 pagi, kami terbangun, tepat waktu bus sampai di terminal di Denpasar. Selanjutnya kami mencari taksi ke legian, karena tidak ada transportasi lain. Legian kami pilih, dengan pertimbangan dekat dengan Kuta, dan bandara Ngurah Rai. Itu berarti, kami bisa berjalan kaki ke tempat wisata, ke Joger, dan lebih cepat ke bandara. 

Sampai di legian, kami berkeliling mencari hotel murah, tapi tidak kunjung menemukan. Sampai akhirnya kami mendapatkan Guest House yang harganya hanya 200,000 per kamar, dan dihitung sehari sampai pukul 12.00 siang besoknya. Kamarnya luas, tempat tidur super besar, ac, kulkas, plus kamar mandi dengan shower, oiya ada TV plasma nya juga, pokoknya recomended banget! Kecuali satu, pemiliknya kurang ramah, bahkan terkesan sangat jutek. Tapi gak masalah untuk backpacker seperti kami, yang penting dapat murah dengan fasilitas maksimal, hahahaha. 

Setelah istirahat sebentar, kami pun memulai petualangan di Bali. Ternyata Bali memang kece, apalagi jalanan di legian yang rasanya seperti bukan di Indonesia. Begitu juga di Kuta, pemandangan benar-benar cantik dan bersih. Kami mencari penyewaan sepeda, tapi sayangnya tidak ada. Setelah puas jalan-jalan di Kuta, kami menuju Joger. Awalnya, kami mengira jaraknya dekat, tapi ternyata kaki rasanya hampir patah berjalan kaki ke sana, huhuhu. Setelah membeli beberapa barang, kami pun pulang ke penginapan, menempuh jarak yang lumayan jauh lagi. Untungnya jalan kaki adalah kita bisa menikmati pemandangan lebih rinci, dan legian di malam hari lebih spektakuler dibanding siang hari. Rasanya kami yang jadi orang asing di kota ini, saking banyaknya turis dari berbagai negara, sedangkan kami tampak seperti minoritas. Apalagi saya berjilbab, jadilah setiap lewat ada saja orang yang menyapa assalamualaikum ke saya. 

Sampai di guest house, saya beristirahat sambil menonton TV. Iseng, saya memilih channel luar negeri yang sedang memutar The Conjuring. Sialnya, waktu Ucu dan Sulham mau pergi bertemu temannya, Ucu memberi tahu saya kalau meteran listrik depan kamar terus berbunyi, tanda kalau vouchernya akan segera habis. Jadilah saya dihantui ketakutan malam itu, nyatanya sampai kami meninggalkan penginapan esok paginya, listriknya belum padam.

Pukul 09.30 pagi kami bertolak ke Bandara Ngurah Rai, karena pesawat kami dijadwalkan berangkat pukul 11.00. Rasanya masih ingin berkeliling di Bali, apa daya uang tak sampai, hihihi. Bukan Bali kalau tidak cantik, bahkan bandaranya pun membuat kagum. Rasanya kayak Bali banget, meski fasilitasnya kelas internasional, tapi nuansa budaya lokalnya begitu terasa dari gaya bangunan. Ah, pantesan Bali lebih dikenal daripada Indonesia itu sendiri. Berakhirlah petualangan lima hari kami, banyak sekali memori menyenangkan, lucu, bahkan sempat juga ada yang uring-uringan di awal perjalanan, sebut saja dia ahjumma (lupa saya ceritakan di part 1), hihihi. Yang jelas, sebuah perjalanan itu sendiri adalah pembelajaran, semakin banyak kita berjalan, semakin banyak kita belajar, semakin banyak kita bisa berbagi, dan semoga semakin banyak kita bersyukur. 






















“I would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light.” 
― Helen Keller
Read more »
Jejak PetualanG Part 2

Jejak PetualanG Part 2

“See the world. It's more fantastic than any dream made or paid for in factories. Ask for no guarantees, ask for no security.” ― Ray BradburyFahrenheit 451

Selama ini saya cuma bisa dengar cerita dan menatap foto-foto spektakuler teman-teman yang kuliah di Jawa, dan lagi berkunjung ke Batu, tempat wisata paling terkenal di Malang. Penggambarannya bikin saya selalu ngiler buat ke sana, dingin, dan hijau. Perpaduan paling sempurna di mata saya yang kecilnya di habiskan di bumi katulistiwa, Borneo dan kuliah di kota pelaut, Makassar. Maka ketibaan kami di kota Malang rasanya seperti anugerah, apalagi habis terpanggang di Surabaya, hahaha. Nah, sebenarnya saya salah pilih stasiun pemberhentian sih, harusnya turun di Malang Kota Baru, tapi malah turun di Lawang. Ini gara-gara artikel menyesatkan di salah satu situs berita tajam dan terpercaya. Gara-gara tagline mereka saya langsung percaya kalau Lawang itu lebih dekat sama Batu dibandingkan Malang ke Batu. 

Sekitar pukul satu malam, kami sampai di Lawang. Jam segitu masih banyak ojek gentayangan loh, hebat banget kan? Jadi kami diantar ojek ke sebuah losmen. Losmennya strategis, di pinggir jalan raya dan kamarnya lumayan bagus. WC dan airnya paling penting buat saya sih, jadi kalau itu terpenuhi saya sudah bilang bagus, hehehe. Di sana tanpa AC kamar udah dingin banget. Kamar ini juga dilengkapi tv plasma, yang sebenarnya gak perlu-perlu banget sih soalnya kita cuma numpang tidur di Lawang. Nah, jam 11 siang waktu sewa habis, dan sempat terjadi ke-ongolan waktu mas-mas penjaganya bilang "jamnya ente' yaa!". Lah, si Sulham langsung teriak iya, tapi sesaat kemudian manggil masnya lagi nanya "maksudnya jam berapa mas?" Jeduaarrr!!! Tepok jidat barbie plisss, hahahaha. Masnya itu kan ngasih tau kalau jamnya habis, dalam bahasa jawa, ahahahah. Sebenarnya saya ngerti, karena semasa di Bontang hampir semua teman saya berasal dari Jawa. Tapi saya gak mampu membaca ketidakmengertian Sulham, hahaha, maafkan, huhu. 

Nah, waktu mau naik angkot, barulah saya sadar kalau kita ditipu artikel yang saya bilang tadi. Ternyata untuk menuju Batu, kami harus ke Kota Malang dulu. Untungnya ongkos angkot cuma 4ribu, walaupun waktu tempuhnya hampir satu jam, soalnya macet paraaah. Sampai di Malang, kami ditawari angkot ke Batu, tarifnya mahal amaat, 175ribu, kayaknya sih mereka mau ngebego-begoin kita secara tampang turis banget kali ya, hihihi. Akhirnya kami memilih taksi, dengan tarif borongan 80ribu ke Jatim Park 2. Sekitar 45 menit di jalan, akhirnya kami sampai. Nah, kami memilih tiket untuk dua tempat yaitu museum dan Batu Secret Zoo, ini paling murah soalnya, hahahahah. 

Museumnya bikin takjub banget, mungkin karena baru pertama kali ke sana ya. Tapi semua replika hewan dan setting tempatnya terasa sangat nyata.  Dari museum, kami lanjut ke Batu Secret Zoo. Kebun binatang kali ini mirip kayak Taronga Zoo di Sydney, oke banget! Nah di sini kita ketemu Ibu2 yang ternyata juga dari Makassar, beliau lagi mengunjungi anaknya yang kuliah di Malang, sekaligus ngajak liburan anak bungsunya. Pertemuan ini jadi ajang penghematan kita, karena si Ibu yang baik hati banget ngajak kita nginap di rumahnya, horeeee!

Eh, dari Batu Secret Zoo, kita langsung tersambung ke wahana bermain yaitu Happy Land. Di sana kami mencoba tsunami yang cukup bikin suara hampir habis karena berteriak. Bayangin, kita berasa naik di kipas angin raksasa yang kemudian dari kanan ke kiri, terus arah sebaliknya, dengan kecepatan super yang bikin perut rasanya tertinggal di atas sana. Setelah itu, wahana selanjutnya saya lupa namanya, yang gak berasa apa-apa sih walaupun muter-muter gitu. Malahan, saya ngobrolin bisnis sama Ucu pas di atas, ahahahah sok jagoan banget. Lanjut ke rumah hantu, saya terpaksa ikut masuk karena ya dipaksa, hahaha. Padahal saya paling gak kuat dengan hal mengagetkan. Alhasil, saya sama sekali gak ingat apa aja yang ada di dalam, karena lebih banyak kaget, berteriak dan panggil mamak. Tas dan bajunya Ucu dan Sulham mungkin hampir rusak saya tarik tiap kaget, hahahaha sekali lagi maaf guys! 

Setelah menghabiskan hari di Batu, dan nginap semalam di rumah ibu baik hati tadi, Rabu siang kami menuju stasiun Malang untuk melanjutkan perjalanan ke Bali via Banyuwangi. Ini jadi perjalanan paling panjang tapi sama sekali tidak melelahkan, dan malah paling seru. Penasaran? Nantikan episode selanjutnya, bersambung...jengjengjengjeng *zoom in zoom out ala sinetron*.


Ini nih Foto-foto selama di Malang...
Menunggu di Stasiun Gubeng, Surabaya




Mission COMPLETE!!!








Cleopatra (?)










Read more »
Jejak PetualanG Part 1

Jejak PetualanG Part 1

“The world is a book and those who do not travel read only one page.”  ― Augustine of Hippo


Travelling? Kedengaran kece dan kekinian banget di zaman di mana sekat-sekat jarak dan budaya dihapus sama globalisasi. Sebenarnya hal yang satu ini sudah dilakukan manusia dari jaman dahulu kala, malah lebih sering di era tanpa teknologi dulu. Istilahnya aja mungkin ya yang lebih fresh dan terdengar modern dibandingkan kata nomaden, hihihi. Tapi, hal yang satu ini emang asik banget! Apalagi untuk orang penyuka tantangan yang gak suka berdiam diri di zona nyaman kayak saya, wkwkwk.


Senin, 18 Mei 2015 kemarin akhirnya saya memberanikan diri untuk travelling ala backpacker. Tanpa perencanaan panjang, karena sebenarnya semua itu terjadi akibat kecerobohan, ahahahah. Jadi, bulan lalu salah satu teman saya yang tidak boleh disebutkan namanya, sebut saja Ucu, salah ngebooking tiket pesawat. Harusnya 18 April malah jadi 18 Mei dan baru sadar setelah pembayaran dilakukan. Jadi, daripada tiket hangus, kami memilih untuk menggunakan tiket tersebut untuk travelling Jawa-Bali. Lima hari, kita jadi petualang yang lebih lama di jalan ketimbang di kota orang, hihihi.

Jam lima pagi kita langsung berangkat ke Bandara Sultan Hasanuddin. Tujuan pertama adalah Surabaya, beruntungnya kita dapat tiket Garuda Indonesia dengan potongan harga, dan kalau mau ke Jawa, paling murah ya ke Surabaya. Sebelumnya kita udah ngebooking tiket kereta api dari Surabaya ke Malang, jadi Surabaya cuma jadi pintu masuk ke Jawa, karena sebuburnya eh sejujurnya, kalau buat liburan Surabaya kurang asik jadi pilihan. Selain karena panasnya sebelas dua belas sama Makassar, gak ada pemandangan atau tempat asik yang bisa didatangi kalau ke kota pahlawan ini. Jam enam lewat dua puluh lima menit, kami terbang ke Surabaya dan sampai di sana sekitar jam enam lewat lima puluh lima menit, soalnya kita berpindah ke WIB. Sampai di sana, kita mutusin pacar, eeh hahahaha jomblo mutusin ape? Oke, kembali ke benang merah, kita menuju kebun binatang, tempat terjauh yang dijangkau Bus Damri dan dekat stasiun Gubeng. Tapi, ada cerita lucu yang sayang kalau dilewatkan, hahahaha.

Pas nyampe bandara Juanda, teman saya sebut saja Ucu langsung menuju toilet. Sebelumnya saya dan Sulham gak curiga sih kalau dia ternyata lagi punya masalah dengan perut. Setelah itu, kita naik free shuttle bus ke bandara Juanda T1 untuk kemudian naik Damri. Nah, pas nyampe di T1, Ucu ke wc lagi. Pas lagi di wc, bus tujuan Kebun Binatang Surabaya datang, jadilah saya dan Sulham naik untuk ngambil tempat. Karena takut Ucu gak liat kita, akhirnya saya turun dari bus. Eh tau-tau bapak-bapak petugas bilang, loh kok turun lagi? Saya jawab deh kalau lagi nunggu satu teman yang di wc. Si bapak tadi bilang oke, eh tapi tau-tau busnya jalan dan saya panggil bapak tadi, dia bilang adek nunggu di depan aja, mau berhenti kok di depan. Saya anteng-anteng aja sampai kemudian bus itu gak berhenti, malah jalan terus dan si Bapak tadi malah bingung sambil bilang ke saya dengan entengnya "loh dek, itu ditinggal sama busnya, coba hubungi masnya yang di dalam tadi." Lah, saya malah jadi lebih bingung, dan langsung nelpon Sulham. Agak panik, Sulham bilang supirnya gak mau berhenti. HP saya udah mau lowbat, dan semua tas berisi uang, dompet dan seluruh harta benda ada di dalam bus. Maka paniklah saya sejenak, sampai Ucu datang dan saya malah ngakak cerita kalau kita ditinggal bus. Untungnya Ucu punya duit, jadi kita nunggu bus selanjutnya. Pas beberapa menit sebelum bus datang, Ucu mules lagi. Padahal, itu bus terakhir di pagi itu, selanjutnya masih satu jam lagi. Melihat saya bingung, seorang Mas-mas petugas nanyain teman saya di mana. Saya pun bilang dia di wc dan hp saya lowbat. Akhirnya mas tadi nelpon si Ucu pake hpnya. Setelah nelpon, si mas nanya "temannya BAB ya mbak?" sambil ketawa ketiwi. Saya jawab aja gak tau, tapi si mas malah memaparkan bukti konkret dari jawaban Ucu di telpon yang bilang "iya, sudah mau selesai." Saya pun mati gaya, ikut aja deh ketawa, maap ye Ucu, hihihi. 

Akhirnya, setelah hampir ditinggal lagi, kita naik bus ke KBS. Waktu di Bungur Asih, bus yang ninggalin kita tadi ternyata nungguin dan saya beserta Ucu pindah ke bus itu, akhirnya kami bertiga terkumpul kembali, huhuhu. Sayangnya, KBS ini gak begitu asik. Kotor, jadul dan gak terawat. Hewan-hewannya pun magernya minta ampun. Padahal masih siang dan hari senin (?). Bosan di KBS, kami lanjut ke Surabaya Town Square, nyari restoran cepat saji buat numpang ngecharge dan tidur, hihihi. Nah, Sutos ini kece banget arsitekturnya, sayangnya sepi pengunjung. Padahal, jarang ada mall yang desain bangunannya seunik itu. Kita sempat ditegur satpam restoran cepat saji gara-gara Sulham ketahuan tidur, kejam gileee, hahahaha. Setelah dari Sutos, kita bertolak ke Stasiun Gubeng. Waktu itu sekitaran jam enam sore. Sampai di Gubeng, kita jalan-jalan cari makan yang ternyata mahal banget kalau dekat stasiun. Masa' tahu tempe yang digoreng pake minyak item tiga porsinya 49000? Setelah makan dan sholat, kita nongkrong gak jelas di stasiun. Jadwal kereta masih beberapa jam. Asiknya, di Gubeng ini ada pertunjukan kayak night jazz gitu, hihi. Tapi ini bapak-bapak bersuara batu akik yang nyanyi lagu lawas. Waah ini baru asik!! Setelah bapak-bapak itu selesai nyanyi, kami lanjut nyanyi sendiri dari bangku tunggu di stasiun. Cukup membuat beberapa mata tertuju pada kami, hahahaha. Nah, setelah berjam-jam nunggu, akhirnya kereta kami datang, dan pukul setengah satu dini hari kami tiba di stasiun Lawang, Malang. Dari stasiun, kita naik ojek ke sebuah losmen. Setelah itu kita langsung tepar, rencananya, pagi kita akan ke Batu, waaah. Akan seperti apa cerita kita di Batu? Nantikan lanjutannya yaaa....hihihi...

Read more »
Sajak Februari di Penghujung bulan Biru

Sajak Februari di Penghujung bulan Biru


Yes besok tanggal 1! Ini pasti disorakkan anak kos di segala penjuru dunia, hahahaha. Tanggal 1 selalu identik dengan bahagia di Indonesia, harapan baru bahasa kerennya, padahal cuma perasaan lega karena bisa makan nasi ayam bukan mi instan lagi setidaknya sampai tanggal 15 atau paling lama 20. Saya sendiri udah bukan anak kos sih, setahun doang nyicipin suka dukanya, tapi selama kos saya pun ogah makan mi instan meski kantong udah gak bisa dikorek. Bukan, bukan soal harga diri, yaelah kalau harga diri mah mending makan mi instan daripada nunggu traktiran teman, haha. Ini soal kesukaan, saya emang gak suka mi instan, selain alasan kesehatan, cihuuuy. Eh ini udah ngelantur jauh dari yang pengen saya tulis. Jadi, berhubung Februari ini sudah mau berakhir, dan demi mengabadikan banyak momen yang bikin hidup semakin berwarna di bulan ini, saya mau ngepost puisi favorit saya yang rasa-rasanya ada sedikit kemiripan dengan -you know what-. Berhubung mamak jaman sekarang makin gaul, termasuk mamak sayaaah, jadilah saya harus mengurangi kadar alay di setiap postingan. Oke, ini dia puisinya menutup bulan biru tahun ini. Dengerin juga, suara aneh saya (hahaha) di sini.

Sajak Februari
Karya Helvy Tiana Rosa

1
Cinta adalah rasa
yang kuucap dalam setiap desah
dan cuaca
tak sampai-sampai getarnya padamu

2
setiap hari embun meneteskan kesetiaannya pada pagi
seperti aku yang tak pernah berhenti menari
dalam mimpi tentangmu
dan jatuh

3
maka kutanyakan pada mungkin
ia memandangku dengan mata kaca
mengecup luka dan berkata
pergi dan pakailah kerudung airmatamu
sebab tak ada tempat untuk cinta di sini

4
Engkaukah itu yang berkata?
Semua pejalan di bumi, semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap gerak berarti
hingga malaikat pun sudi mengecup
semua luka kita yang mawar

engkaukah itu yang berkata, cinta?
sementara diam-diam kita berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau

5
Di dalam bis yang membawa banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu sejak pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yang sama
hingga aku tak pernah bisa menatap punggungmu

Di antara dinding dingin di sekitar kita
kau cari aku hari itu
tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu bermusim-musim
dan selalu hanya pilu
yang memeluk dan membujukku
Pulanglah, kau sudah begitu lelah

6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada napas dan airmata
Di manakah kau, di manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta terus sembunyi

7
Seperti gelombang yang setia pada lautan
aku telah lama kau campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak aku memang harus kembali
meski dengan luka yang paling badai

8
Begitulah perempuanmu
memintal lalu menguraikan kembali
kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di mataku
yang menjelma beliung
namun tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak juga napasmu
di jalan raya kehidupanku

Membayangkan wajahmu aku pun bermimpi
tentang matahari lain yang menyala suatu masa
Mungkin kita bisa saling memandang lama
melepas beliung abai yang menyiksa selama ini

9
:Aku telah berjuang untuk melupakanmu

Seperti baru kemarin kau datang dan kita bicara
sambil menatap ubin, dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
ada yang lebih penting kau selesaikan

Seperti angin yang tak sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan datang setelah urusan selesai.
Bagaimana kalau dia yang tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus kuabaikan?
Siapa yang perlu kulupakan?

Kita terdiam mengamini ubin, dinding dan pohon jambu
suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan lalu lalang
beberapa mahasiswa dengan jaket kuning melintas
mungkin sebentar lagi gerimis

Dalam sepi itu tiba-tiba kita pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam hubungan indah,
yang tak bisa dirumuskan

Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak akan berjumpa lagi
untuk waktu yang lebih dari lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
harus jadi monumen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dalam tong sampah

10
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu

11
Hai
katamu aku tetap perempuan itu
tak henti menyelami lautan huruf
demi yang Maha Cinta

dan kau sangat tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan kenangan tersisa
titik tanpa koma
pada Februari ke lima

Depok, 1995
Read more »
Beranda