Balada Para Pemimpi
Coba bayangkan kalau Cooper tidak pernah berimajinasi bahwa suara bisa dikirimkan tanpa kabel melalui telepon portable, maka hari ini, hampir dipastikan jantung kita masih berdebar menantikan surat diantar oleh Pak Pos. Atau jika kita mundur lebih ke belakang, kalau saja Maxwell tidak pernah berteori mengenai dinamika medan elektromagnetik, lalu Hertz tidak pernah tertarik membuktikan teori Maxwell, pastilah banyak hati yang terluka karena surat-surat yang sampai terlampau lama, tidak mampu melesat secepat SMS.
Mungkinkah kita bisa mengorganisir meet up ala anak kekinian via chat di grup, jika Departemen Pertahanan USA tidak pernah mencoba membuat jaringan ARPANET? Baiklah, mundur lagi ke belakang, jika Licklider tidak pernah memperkenalkan istilah "Man-Computer Symbiosis", membayangkan komputer-komputer terhubung satu sama lain melalui sebuah jaringan, bagaimanalah kita bisa menonton tayangan dari negeri lain via yutup?
Lebih dekat, jika Habibie tidak pernah punya mimpi agar Indonesia bisa memproduksi pesawatnya sendiri, ah seberapa tertinggalnya negeri ini tanpa impian tersebut? Masih ada jutaan atau mungkin milyaran mimpi lainnya, yang mungkin saja jadi titik balik penemuan untuk kehidupan masa depan. Mimpi-mimpi yang sayangnya, seringkali ditertawakan dan dianggap mustahil oleh orang-orang dengan sederet gelar, yang idealnya mendukung impian-impian mustahil tersebut jadi kenyataan.
Pertanyaan "apa manfaatnya?" atau "apa gunanya?" adalah pertanyaan yang paling sering ditemui para pemimpi di negeri tercinta ini. Pertanyaan yang mengarah pada "apakah bisa membuat Indonesia kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya?" Pertanyaan dari mental-mental non-investor yang memang masih jadi mayoritas di negeri di mana kita lebih bangga jadi pekerja daripada pengusaha. Maka, kita bisa lihat, hampir tidak ada arkeolog dari negeri kita sendiri, negeri dengan kekayaan sejarah yang kekayaannya malah ditemukan oleh arkeolog-arkeolog asing yang dibiayai negaranya. Bagaimanalah bisa arkeolog melakukan penelitian jika hampir dipastikan mereka tidak dapat menjawab guna penelitiannya secara ekonomis ketika mengajukan anggaran penelitian ke pemerintah.
Sebagai salah satu pemimpi, penulis dan beberapa teman lainnya sudah khatam dengan pahitnya pertanyaan "apa gunanya?". Berkali-kali gagal berangkat konferensi internasional, padahal sudah susah payah menuangkan ide ke dalam paper. Sakitnya lagi, sudah pula diseleksi super ketat, akhirnya gagal juga dipresentasikan hanya karena dianggap tak berguna (T.T). Padahal, lewat konferensi-konferensi yang kata birokrat tidak berguna itulah, banyak muncul ide gila yang membuat hidup mereka-mereka di muka bumi ini semakin nyaman.
Banyak sekali yang lupa, bahwa mobil yang membawanya dengan nyaman di tengah panas maupun hujan, pesawat yang mengantarkan dari selatan menuju utara, atau barat ke timur, telepon genggam dan jaringan internet yang mampu membuatnya senyum-senyum sendiri di tengah keramaian. Semuanya adalah hasil dari mimpi-mimpi yang dianggap mustahil dijadikan nyata, mimpi yang ditertawakan, diremehkan, dianggap tak berguna. Kemustahilan yang telah mengubah hidup milyaran manusia di muka bumi, jadi lebih nyaman, lebih ringkas, lebih hemat waktu. Kemustahilan yang bahkan bisa memanjangkan angka harapan hidup penduduk di banyak negeri.
Maka terpujilah orang-orang yang memegang teguh mimpi mustahilnya, meski sesisi semesta bahkan semut yang berbaris di dinding menatapnya curiga seakan penuh tanya "apa gunanya?". Kelak, kitalah yang akan menatap balik pada mereka yang sinis, dengan tatapan penuh kasih balik berkata, "hidupmu jadi lebih mudah kan sekarang, akhirnya kamu tahu gunanya impian saya."
Sebagai penyemangat, marilah kita mengheningkan cipta, meresapi kutipan salah satu penulis yang jadi inspirasi hidup saya berikut ini.
"Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda marabahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar kea rah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram angin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!" - Andrea Hirata (Edensor)
Read more »