-->

Embun

Barangkali kau benar, Embun...
Aku terlalu ringkih untuk menerima tetesan rindumu. Dayaku teramat kerdil untuk menggenggam tetesan pesonamu. Tetesan-tetesan lembut yang hanya mampu ditafsirkan oleh riak nafsu yang tersesat. Dan nafasku, tak ada yang bisa mengartikan betapa rindunya ia dengan labirin cahaya nan bias pada dedaunan segar yang kau hinggapi.

Barangkali kau benar, Embun...
Bukan malam yang mampu memenjarakanku. Kau ingat saat mati-matian berusaha menyadarkanku dari sekarat? Saat itu gulita telah memperdayaku. Aku nyaris mati. Jiwaku tenggelam dengan pesona sendu yang dibawa oleh pangeran malam. Dan ragaku, jikalah bukan karena melihatmu bersusah payah membangunkanku, rasanya aku akan memilih untuk tetap sekarat. Nyaris mati.

Barangkali kau benar, Embun...
Aku akan mengiba untuk setiap tetesan yang kini kau berikan. Aku pernah terhempas. Aku pernah terseok meski hanya untuk berdiri. Aku pernah berdarah, terluka karena tersayat oleh hitamku sendiri. Maka biarlah, aku ingin membuka kedua bibir ini untuk tengadahkan asa atas janji sejuknya tetesan yang kau berikan.
Barangkali kau benar, Embun...
Aku sanggup mengharapkanmu lebih dari segalanya.

Sumber: Majalah Annida Edisi I Th. 2012

Embun