-->

Jejak PetualanG Part 3



Ini adalah bagian terseru dari petualangan lima hari kami. Perjalanan yang paling banyak menghabiskan waktu, tapi terbayar oleh keelokan pemandangan alam yang kami lewati. Untuk pertama kalinya, saya menginjakkan kaki di pulau yang lebih terkenal dari negerinya sendiri, Bali.

Yihaaa, setelah menikmati dinginnya Batu dan menyantap lezatnya bakso Malang, waktunya bertolak ke Bali via Banyuwangi. Kami naik kereta api Tawang Alun yang berangkat pukul 15.55 dari Stasiun Kota Malang. Bukan perjalanan singkat, sebab 8 jam kami harus duduk dalam kereta yang rasanya berjalan mundur, karena posisi duduk kami, hehehe. Sebelum berangkat, kami sempat berjalan kaki di sekitar stasiun untuk mencari warung makan yang pas (di kantong yang mulai kering). Lumayan jauh, tapi wajarlah bagi travelling ala backpacker. Warungnya pun ketemu, ada wifi gratis, dan sederet menu yang namanya unyu: bakso goyeng, tahu goyeng dan semua yang goyeng goyeng!


Setelah selesai mengisi perut, dan gak lupa ngebungkus makanan untuk di kereta nanti, kami ke stasiun. Kereta datang tepat waktu, kami pun segera naik. Tapi kami mendapat kenyataan pahit, ternyata tempat duduk Ucu jauh terpisah dari saya dan Sulham hahahaha. Saya dan Sulham duduk berhadapan dengan sepsasang suami istri dengan destinasi Jember; kotanya Mas Anang. Hmm, kalau aku siih, eh kenapa jadi ketularan -_-, hihihi. Suami istri ini ramah banget loh, dan istrinya terkagum-kagum banget dengar peualangan kami, khususnya saya. Soalnya, si mbak gak pernah beranjak dari Jember sejak kecil, dan baru menginjakkan kaki di kota lain, yaitu Malang setelah menikah. Berbanding terbalik dengan saya yang sudah berkelana kesana kemari. 

Bukan hal mudah duduk 8 jam di kereta. Saya dilanda kebosanan parah,tapi untungnya suami istri di depan saya asik diajak ngobrol, dan ada Sulham yang enak dibully, hahaha. Sayangnya, suami istri nan ramah di depan kami hanya 5 jam di kereta, karena Jember lebih dulu dicapai, sedangkan Banyuwangi adalah destinasi paling terakhir. Main hockey di Ipad, makan, berbagi headset, sampai tidur-tidur ayam sudah kami lalui, entah apa yang dilakukan Ucu nun jauh di tempat duduk sana, hahahaha. Saya sempat ke toilet kereta, dan betapa terkejutnya saya untuk pertama kalinya melihat toilet semacam itu. Sangat sempit dan saya hampir jatuh ketika kereta tiba-tiba berhenti karena sampai di stasiun berikutnya.

Pukul 12.00 kami tiba di Banyuwangi, dengan perut penuh terisi angin. Jadilah kami singgah di Indomaret dekat stasiun untuk membeli tolak angin dan pop mie. Setelahnya, kami berjalan kaki ke pelabuhan ferry yang jaraknya hanya 100 meter. Asik juga ternyata jalan kaki di malam hari, hahaha. Kami membeli karcis seharga 8,000 rupiah per orang. Tergolong murah, untuk perjalanan 20 menitan menyebrang ke pelabuhan Gilimanuk di Bali. Tapi malam itu, ombak sedang tinggi, jadi hampir satu jam kami di atas ferry. Tapi lagi, walaupun lebih lama, perjalanan dengan ferry ini menyenangkan sekali. Kami bisa menikmati pemandangan laut di malam hari yang super duper kereeeeen, plus lampu-lampu cantik yang kelihatan di seberang pulau. Pokoknya spektakuler!

Setelah naik ferry, kami masih harus naik bus ke Denpasar dengan waktu tempuh 4 jam. Gak nyangka, kalau pulau Bali yang di peta cuma seiprit itu ternyata luas juga, huhuhu. Kami kehabisan uang cash, hanya tersisa 90000, terpaksa kami menawar mati-matian bus yang harusnya 40000 per orang jadi 30000, hihihi. Pemandangan kiri-kanan lagi-lagi sangat apik, tapi tidak lama kami nikmati karena kami tertidur pulas, mungkin kami sudah lelah. Pukul 6.00 pagi, kami terbangun, tepat waktu bus sampai di terminal di Denpasar. Selanjutnya kami mencari taksi ke legian, karena tidak ada transportasi lain. Legian kami pilih, dengan pertimbangan dekat dengan Kuta, dan bandara Ngurah Rai. Itu berarti, kami bisa berjalan kaki ke tempat wisata, ke Joger, dan lebih cepat ke bandara. 

Sampai di legian, kami berkeliling mencari hotel murah, tapi tidak kunjung menemukan. Sampai akhirnya kami mendapatkan Guest House yang harganya hanya 200,000 per kamar, dan dihitung sehari sampai pukul 12.00 siang besoknya. Kamarnya luas, tempat tidur super besar, ac, kulkas, plus kamar mandi dengan shower, oiya ada TV plasma nya juga, pokoknya recomended banget! Kecuali satu, pemiliknya kurang ramah, bahkan terkesan sangat jutek. Tapi gak masalah untuk backpacker seperti kami, yang penting dapat murah dengan fasilitas maksimal, hahahaha. 

Setelah istirahat sebentar, kami pun memulai petualangan di Bali. Ternyata Bali memang kece, apalagi jalanan di legian yang rasanya seperti bukan di Indonesia. Begitu juga di Kuta, pemandangan benar-benar cantik dan bersih. Kami mencari penyewaan sepeda, tapi sayangnya tidak ada. Setelah puas jalan-jalan di Kuta, kami menuju Joger. Awalnya, kami mengira jaraknya dekat, tapi ternyata kaki rasanya hampir patah berjalan kaki ke sana, huhuhu. Setelah membeli beberapa barang, kami pun pulang ke penginapan, menempuh jarak yang lumayan jauh lagi. Untungnya jalan kaki adalah kita bisa menikmati pemandangan lebih rinci, dan legian di malam hari lebih spektakuler dibanding siang hari. Rasanya kami yang jadi orang asing di kota ini, saking banyaknya turis dari berbagai negara, sedangkan kami tampak seperti minoritas. Apalagi saya berjilbab, jadilah setiap lewat ada saja orang yang menyapa assalamualaikum ke saya. 

Sampai di guest house, saya beristirahat sambil menonton TV. Iseng, saya memilih channel luar negeri yang sedang memutar The Conjuring. Sialnya, waktu Ucu dan Sulham mau pergi bertemu temannya, Ucu memberi tahu saya kalau meteran listrik depan kamar terus berbunyi, tanda kalau vouchernya akan segera habis. Jadilah saya dihantui ketakutan malam itu, nyatanya sampai kami meninggalkan penginapan esok paginya, listriknya belum padam.

Pukul 09.30 pagi kami bertolak ke Bandara Ngurah Rai, karena pesawat kami dijadwalkan berangkat pukul 11.00. Rasanya masih ingin berkeliling di Bali, apa daya uang tak sampai, hihihi. Bukan Bali kalau tidak cantik, bahkan bandaranya pun membuat kagum. Rasanya kayak Bali banget, meski fasilitasnya kelas internasional, tapi nuansa budaya lokalnya begitu terasa dari gaya bangunan. Ah, pantesan Bali lebih dikenal daripada Indonesia itu sendiri. Berakhirlah petualangan lima hari kami, banyak sekali memori menyenangkan, lucu, bahkan sempat juga ada yang uring-uringan di awal perjalanan, sebut saja dia ahjumma (lupa saya ceritakan di part 1), hihihi. Yang jelas, sebuah perjalanan itu sendiri adalah pembelajaran, semakin banyak kita berjalan, semakin banyak kita belajar, semakin banyak kita bisa berbagi, dan semoga semakin banyak kita bersyukur. 






















“I would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light.” 
― Helen Keller

Jejak PetualanG Part 3