Foto diambil ketika off air |
Sebelum memori menguap dan kesan tak lagi melekat, saya
tulis cerita ini.
Apa hubungannya akuntansi dengan penyiar? Sebagian besar
orang akan menjawab tidak ada hubungan secara langsung antara dua variabel ini.
Pertanyaan serupa diungkapkan Wakil Rektor III Universitas Hasanuddin, Dr. Ir.
H. Nasaruddin Salam, M.T. kemarin saat menjadi bintang tamu di Radio Kampus EBS
FM Unhas. “Apa hubungan mekanika fluida dengan Wakil Rektor?” kata beliau. “Tidak
ada bukan? Tapi bukan berarti kuliah di jurusan Teknik Mesin kemudian harus
bekerja di bidang mesin. Ilmu itu pengantar kita menuju apa pun yang kita mau,
asal kita benar-benar mempelajarinya dan tidak menganggap sebagai beban.” Ulas
beliau kemudian.
Kamis, 13 Maret 2014 akan menjadi salah satu tanggal yang
saya abadikan dalam ingatan. Meski saya mulai menyiar sejak SMA, tapi kemarin
adalah pertama kalinya saya menyiar dan mewawancarai seorang tokoh penting, ya,
Pak Nas sapaan akrab beliau. Beliau adalah “orang rektorat” yang paling sering
berhadapan dengan mahasiswa, sebab memang bidang kemahasiswaan yang beliau
bawahi. Sosoknya sangat bersahaja, bahkan beliau datang sendiri ke studio kami
tanpa harus dijemput layaknya pejabat kebanyakan. Kesahajaan beliau inilah yang
kemudian membuat kegugupan saya hilang, dalam 10 menit suasana di ruang siar
mencair dan penuh tawa, rasanya saya sedang mewawancara teman. Oh iya, tema
acara yang saya bawakan kemarin adalah Menempuh
S3 di Tengah Kesibukan sebagai WR III. Beliau memang baru-baru ini meraih
gelar Doktor jurusan teknik mesin dari Universitas Brawijaya, Malang.
Sebelum wawancara, saya membacakan profil singkat beliau,
kesan yang tinggal adalah beliau punya rekam jejak kepemimpinan yang
mengagumkan. Pertanyaan pertama saya adalah tentang judul disertasi beliau,
kemudian mengapa memilih Universitas Brawijaya. Di segmen kedua, pertanyaan
yang saya ajukan adalah mengenai bagaimana beliau membagi waktu antara
pekerjaan sebagai WR III, mengajar, dan kuliah S3. Jawaban beliau memang tak
pernah tak mengagumkan, singkat tapi sarat pesan untuk kami, mahasiswa. Beliau
mengatakan bahwa Allah sudah memberi waktu yang sama untuk setiap manusia, 24
jam. Nah, waktu ini sebenarnya banyak, hanya kadang kita suka menunda, kebanyakan
bersantai, dan sebagainya. Beliau sangat menghindari membuang waktu, apalagi
kalau hanya mengobrol misalnya. Kata beliau lagi, menyelesaikan S3 tidak bias jika
kita hanya bekerja keras sendiri, harus ada kerja cerdas, yakni meminta bantuan
orang lain, semacam membuat tim untuk pembuatan jurnal internasional yang
menjadi syarat untuk sampai ke promosi Doktor. Selanjutnya beliau lebih banyak
bercerita tentang perjalanannya hingga sampai menjadi seperti sekarang. Ternyata,
waktu menempuh S1, beliau sambil bekerja dan berorganisasi, tetapi kemudian
beliau lah lulusan tercepat bahkan meraih lulusan terbaik. Maka salah satu
pesan beliau, jangan hanya sibuk dengan akademik, ikutlah berorganisasi untuk
mengasah soft skill. Tapi ketika berorganisasi, buktikan kalau akademik tak
terganggu, jangan kemudian menghambat kelulusan, apalagi samapai drop out. Motto beliau, kerja keras,
kerja cerdas, kerja berkualitas, dan kerja tuntas.
Meski menjawab dengan serius, sifat humoris beliau tetap
melekat, selalu ada gurauan cerdas yang beliau sampaikan di sela kalimatnya.
Seperti ketika saya bertanya apa tipsnya bisa secemerlang beliau, sukses di
akademik, sukses berorganisasi, sukses pula dalam pekerjaan. Kata beliau, ada
lima hal yang dilakukan ketika masih mahasiswa, pertama kuliah, kemudian
berorganisasi, bekerja, menjadi asisten dosen, dan yang terakhir, tetap
membonceng anak orang (punya pasangan). Saya dan operator di dalam ruang siar
spontan tertawa mendengar jawaban beliau. Namun beliau menyampaikan lagi, kalau
yang dibonceng tidak boleh berganti-ganti tiap bulannya, karena justru akan
mengganggu kuliah. Kemudian beliau menambahkan, bahwa kesuksesan kita tak ada
artinya jika kita lupa mencari pendamping hidup. Nah, fakta menariknya,
ternyata gadis yang beliau bonceng semasa kuliah tadilah yang sekarang menjadi
istri beliau (hehehe).
Satu jam berbincang, baik on air maupun ketika off air
rasanya belum cukup. Saya seperti sedang berbincang dengan ayah sendiri. Banyak
sekali nasihat beliau untuk kami, termasuk pesan agar disiplin waktu dan agar
kami senantiasa memperbaiki diri dari waktu ke waktu. “Tidak perlu dipaksakan,
perubahan itu bertahap, asal hasilnya harus kelihatan, harus menjadi lebih baik
seiring berjalannya waktu”, pesan beliau kepada kami. Sebelum closing, saya memutar lagu dari alm.
Chrisye – Lilin-Lilin Kecil, beliau sempat ikut bernyanyi kecil mendengar lagu
tersebut. Oh iya, saat hadir di studio, beliau memakai kemeja biasa, tidak ada
kesan kalau beliau adalah pejabat kampus. Pak Nas dalam ingatan saya selalu
menutup pidatonya dengan pesan singkat yang lucu tapi sangat mengena, maka saat
menutup siaran, saya meminta beliau menutupnya dengan gaya khas beliau. Tapi
mungkin, saking banyaknya saya tertawa, saya lupa apa yang beliau katakan (hihihi),
yang jelas beliau lagi-lagi membuat seisi studio tertawa.
Kalau boleh, saya ingin menyebut siaran kemarin seperti nama
program acara sebuah stasiun TV swasta, Satu Jam Lebih Dekat dengan Pak Nas.
Banyak yang bisa kita teladani dari beliau, seperti sepenggal kalimat yang
sering beliau ulang, ketika menghadapi mahasiswa yang marah, beliau selalu
tersenyum dan mengatakan “terima kasih”, jangan hadapi marah dengan kemarahan
juga, begitu pesan beliau. Dan karena memberikan kepercayaan kepada saya untuk
mewawancarai beliau, terima kasih EBS, mimpi kecil saya jadi presenter acara
talkshow rasanya seperti terwujud kemarin.
hai syifa salam kenal yah, btw aku suka baca postingan kamu seru banget ceritanya! :)
ReplyDelete